Beranda | Artikel
Meninggalkan Maksiat Karena Allah
Senin, 15 Mei 2023

MENINGGALKAN MAKSIAT KARENA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Segala puji bagi Allah semata, kita memuji, memohon pertolongan, dan ampunan kepada -Nya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’aladari kejahatan diri kita dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepadanya maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tiada sekutu bagi -Nya, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul -Nya. Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu tercurah kepadanya serta keluarganya. Wa Ba’du.

Sesungguhnya nafsu syahwat mempunyai kekuatan terhadap jiwa, kekuasaan dan keteguhan terhadap hati, karena sebab itu maka meninggalkannya sangat berat dan berlepas diri darinya teramat susah. Akan tetapi orang yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu Dia menjaganya dan barangsiapa yang memohon pertolongan kepada -Nya niscaya Dia menolongnya.

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.. [ath-Thalaq/65:3]

Sesungguhnya orang yang meninggalkan kesenangan dan kebiasaan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu akan mendapatkan kesusahan luar biasa, sebaliknya orang yang meninggalkannya ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia tidak merasakan susah dalam meninggalkannya kecuali di saat yang pertama, untuk diuji apakah dia benar dalam meninggalkannya atau dusta. Jika ia sabar di atas sedikit kesusahan niscaya berubah menjadi kenikmatan. Setiap kali bertambah keterasingan pada yang diharamkan dan jiwa merasa ingin melakukannya serta banyak sekali penggoda untuk terjerumus di dalamnya niscaya bertambah besar pahala dalam meninggalkannya dan berlipat ganda ganjaran dalam melawan hawa nafsu untuk berlepas diri darinya.

Kecenderungan tabiat manusia kepada nafsu syahwat tidak bertentangan dengan sifat taqwa, apabila ia tidak melakukannya dan selalau melawan hawa nafsunya untuk membencinya, bahkan hal itu termasuk jihad dan bagian dari taqwa. Kemudian, sesungguhnya orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan untuknya yang lebih baik darinya.  Dan gantian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ada beraneka ragam, dan yang terbesar adalah :  Jinak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai -Nya, ketenangan hati dengan berzikir kepada-Nya, kekuatan dan ridhanya kepada Rabb-nya, diserta balasan selagi masih di dunia, ditambah balasan yang sempurna di akhirat. Berikut ini adalah beberapa contoh balasan lebih baik yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang yang meninggalkan maksiat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Barangsiapa yang meninggalkan meminta-minta, berharap banyak dan menumpahkan air mata di hadapan manusia, dan dia menggantungkan harapannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan yang lebih baik dari yang dia tinggalkan. Maka Dia memberikan kepadanya kemerdekaan hati, kemuliaan jiwa, dan tidak berharap dari makhluk.

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ وَمْن يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ

Barangsiapa yang berusaha sabar niscaya Allah Subhanahu wa Ta’alamemberikan kesabaran kepadanya, dan barangsiapa menahan diri (dari meminta-minta) niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencukupkannya.

  1. Barangsiapa yang tidak menentang taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu ia menyerahkan semua urusannya kepada Rabb-nya, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sifat ridha dan yaqin, dan saya meyakini bahwa ia termasuk akhir yang baik yang tidak terlintas di hati.
  2. Barangsiapa yang tidak pergi kepada peramal dan tukang sihir niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesabaran kepadanya, bertawakal secara benar dan merealisasikan tauhid.
  3. Barangsiapa yang tidak bergelimang di atas dunia, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan perkaranya, memberikan kekayaan di dalam hatinya, dan dunia datang kepadanya sedangkan dia tidak terlalu berharap.
  4. Barangsiapa yang tidak takut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut, niscaya dia selamat dari segala ilusi dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rasa aman kepadanya dari segala sesuatu, maka segala rasa takutnya menjadi rasa aman, dingin dan kesejahteraan.
  5. Barangsiapa yang meninggalkan dusta dan selalu jujur dalam segala hal niscaya ia diberi petunjuk kepada kebaikan dan dia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk orang yang shiddiq (jujur), diberikan lisan (sebutan) yang benar di antara manusia, maka mereka menjadikannya pemimpin, memuliakan, dan mendengarkan ucapannya.
  6. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, sekalipun dia benar niscaya diberikan jaminan untuknya rumah di pinggiran surga, selamat dari pertengkaran, terjaga di atas kebersihan hatinya dan selamat dari terbuka aibnya.
  7. Barangsiapa yang tidak menipu dalam jual beli niscaya bertambah kepercayaan manusia kepadanya dan banyak yang mencari barangnya.
  8. Barangsiapa yang meninggalkan riba dan usaha yang buruk niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan berkah dalam rizqinya dan membuka baginya pintu-pintu kebaikan dan keberkahan.
  9. Barangsiapa yang meninggalkan pandangan yang haram niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikannya dengan firasat yang benar, cahaya dan kejelasan, serta kenikmatan yang didapatkannya di hatinya.
  10. Barangsiapa yang meninggalkan sikap pelit, mengutamakan sikap pemurah niscaya manusia menyukainya, dekat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari surga, selamat dari duka cita, sakit hati, dan dada sempit, menaikan tangga kesempurnaan dan tingkatan keutamaan

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

       “Dan barangsiapa yang dipelihara kebakhilan dirinya maka merekalah orang-orang yang beruntung.”

  1. Barangsiapa yang meninggalkan sikap sombong dan selalu berakhlak tawadhu’ (rendah hati) niscaya sempurna kepemimpinannya, tinggi kedudukannya, dan keutamaannya mencapai puncak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam riwayat Muslim:

وَمَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ

       “Barangsiapa yang rendah hati karena Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Dia meninggikannya.”

  1. Barangsiapa yang meninggalkan tidur dan selalu mendirikan shalat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Dia memberikannya kesenangan, rajin dan rasa akrab dalam ibadah.
  2. Barangsiapa yang meninggalkan rokok, segala yang memabokan dan menghilangkan akal niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolongnya, memberikan kelembutan dari sisi -Nya, kesehatan dan kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan semu yang berlalu.
  3. Barangsiapa yang meninggalkan membalas dendam, padahal dia mampu melakukannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rasa lapang dalam dadanya, senang di hati. Maka di dalam pemberian maaf terdapat rasa tenang, manis, kemuliaan jiwa dan ketinggiannya yang tidak ada bandingnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّاً

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menambah kepada hamba dengan sikap maaf kecuali kemuliaan.”

  1. Barangsiapa yang meninggalkan teman yang jahat yang merupakan puncak kesenangannya niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikannya teman-teman yang baik yang dia mendapatkan kesenangan dan faedah di sisi mereka, serta memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dari persahabatan dan pergaulan dengan mereka.
  2. Barangsiapa yang meninggalkan banyak makan niscaya ia selamat dari kegemukan dan segala penyakit, karena barangsiapa yang banyak makan niscaya ia banyak minum, lalu banyak tidur, selanjutnya ia banyak rugi.
  3. Barangsiapa yang tidak menunda-nunda dalam membayar hutang niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolongnya dan membayarkan untuknya, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti menolongnya.
  4. Barangsiapa yang meninggalkan marah niscaya ia menjaga kemuliaan dan kewibawaan dirinya, terhindar dari kehinaan meminta maaf dan konsekwensi penyesalan, serta termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaqwa (الكاظمين الغيظ) “orang-orang yang menahan amarah“. Seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah, berilah wasiat kepadaku. Beliau bersabda: ‘Janganlah engkau marah.” HR. al-Bukhari. Al-Mawardi rahimahullah berkata: Maka sudah sepantasnya bagi orang yang memiliki akal lurus dan pertimbangan yang kuat agar menghadapi kekuatan marah dengan sikap hilmnya (santunnya) maka ia bisa menahannya, dan mengimbangi dorongan kejahatannya dengan pertimbangannya maka ia bisa menahannya, agar dia mendapatkan kebaikan yang terbesar dan beruntung dengan kesudahan yang terpuji.

Dan dari Abu Ablah, ia berkata, ‘Pada suatu hari, Umar bin Abdul Aziz sangat marah kepada seorang laki-laki, lalu dia menyuruh untuk dibawa ke hadapannya, lalu laki-laki itu dibawa kehadapannya dan diikat dengan tali dan dibawakan cambuk. Lalu Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: Lepaskanlah dia. Sesungguhnya jika bukan karena aku sangat marah niscaya aku menghukum engkau.’ Kemudian ia membaca:  (الكاظمين الغيظ) “orang-orang yang menahan amarah

  1. Barangsiapa menghindarkan diri dari terjerumus dalam kehormatan manusia dan mengungkapkan aib mereka niscaya ia digantikan dengan keselamatan dari keburukan mereka dan diberikan rizqi melihat pada dirinya. Ahnaf bin Qais Radhiyallahu anhu berkata: “Barangsiapa yang bersegera kepada manusia yang tidak mereka sukai, niscaya mereka berkata padanya sesuatu yang tidak mereka ketahui.’ Dan seorang wanita badawi berpesan kepada anaknya: ‘Jauhilah mengurusi kekurangan orang lain maka (jika engkau melakukan hal itu, niscaya) engkau akan menjadi sasaran, dan sudah pasti sasaran tidak bisa bertahan karena banyaknya anak panah. Dan sedikit sekali anak panah memalingkan sasaran sampai ia menjadi lemah karena saking kuatnya. Imam asy-Syafii rahimahullah berkata:

المرء إن كان مؤمناً ورعاً *** أشغله عن عيوب الورى ورعه

كما السقيم العليل أشغله *** عن وجع الناس كلهم وجعه

Seseorang, jika ia beriman serta bersikap wara’, Niscaya sifat wara’nya menghalanginya dari (memperhatikan) keaiban manusia (orang lain)

Sebagaimana orang sakit saat menderita, rasa sakitnya membuat dia tidak sempat memikirkan  penyakit semua manusia.

  1. Barangsiapa yang meninggalkan pertengkaran dengan orang-orang bodoh dan berpaling dari orang-orang jahil niscaya ia menjaga kehormatannya, melapangkan dirinya dan selamat dari mendengarkan yang menyakitinya.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. [al-A’raaf/7:199]

  1. Barangsiapa yang meninggalkan sifat dengki pastilah ia selamat dari bahayanya yang beraneka ragam. Sifat hasad adalah penyakit berbahaya, racun yang membunuh, lorong yang rusak, dan perilaku yang tercela. Dan di antara tercelanya sifat hasad bahwa ia mengarah kepada orang terdekat dari karib kerabat, kenalan terdekat dan saudara-saudara. Sebagian orang yang bijak berkata: Aku tidak pernah melihat orang zalim yang lebih menyerupai dengan yang dizalim selain orang yang pendengki, jiwa yang sengsara, selalu berduka cita dan hati yang bingung.
  2. Barangsiapa yang selamat dari sifat buruk sangka (su`uzh zhann) niscaya ia selamat dari kekacaun jiwa dan fikiran yang terganggu. Maka buruk sangka merusak rasa cinta dan menarik sakit hati dan kekacuan jiwa. Karena inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memeperingatkan darinya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثم

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. [al-Hujurat/49:12]

       Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث

Jauhilah prasangka, maka sesungguhnya prasangka itu adalah pembicaraan paling dusta.” HR. al-Bukhari dan Muslim.

  1. Barangsiapa yang menjauhi sifat malas dan maju di atas kesungguhan dan bekerja keras niscaya tinggilah semangatnya dan diberikan berkah pada waktunya, lalu ia mendapatkan kebaikan yang banyak di waktu yang sedikit.

Dan barangsiapa yang meninggalkan kenikmatan niscaya ia mendapatkan cita-cita dan barangsiapa yang tenggelam dalam kenikmatan niscaya ia menggigit tangan (menyesal).

  1. Barangsiapa yang meninggalkan mencari ketenaran dan suka terkenal niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat sebutannya (namanya), menyebarkan keutamaannya dan datanglah ketenarannya yang menyeret ujung kainnya (tanpa dikehendakinya).
  2. Barangsiapa yang meninggalkan sikap durhaka, maka ia menjadi berbakti kepada kedua orangnya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha kepadanya, memberikan karunia anak-anak yang berbakti dan memasukkannya ke dalam surga di akhirat.
  3. Dan barangsiapa siapa yang meninggalkan sikap memutuskan silatur rahim, lalu ia menyambung hubungan silatur rahim kepada mereka, menyayangi mereka, dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada mereka, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizqinya, memanjangkan umurnya, dan ia senantiasa ada penolong dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyertainya selama ia tetap menyambung hubungan silaturrahim.
  4. Barangsiapa yang meninggalkan cinta (kepada manusia), memutuskan sebab-sebabnya, menelan pahitnya berpisah di dalam langkah pertama, dan menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala secara menyeluruh, niscaya ia diberikan hiburan, kemuliaan jiwa, selamat dari kepedihan yang mendalam, kehinaan dan tertawan, hatinya dipenuhi kebebasan dan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, cinta itulah yang menyatukan hatinya yang tercabik-cabik, menutup kekosongannya, mengenyangkan rasa laparnya, mengkayakannya dari kefakiran. Maka tidak beruntung, tidak baik dan tidak tenang, serta tidak tenteram kecuali dengan beribadah kepada Rabb-nya, mencintai-Nya, dan kembali kepada-Nya.
  5. Barangsiapa yang meninggalkan bermuka masam dan mengerutkan kening, dan bersifat dengan muka manis dan wajah berseri, niscaya lembutlah budi pekertinya, haluslah perilakunya, banyaklah yang mencintainya, dan sedikit orang yang mencelanya. Nabi bersabda: تبسُّمك في وجه أخيك صدقةSenyumanmu di wajah saudaramu adalah sedakah.” at-Tirmidizi dan ia berkata: Hadits hasan gharib. Ibnu Aqil al-Hanbali rahimahullah berkata: ‘Muka manis menjinakan akal dan pendorong untuk diterima, dan bermuka masam adalah sebaliknya.

Sebagai kesimpulan, maka barangsiapa yang meninggalkan sesuatu (yang dilarang) karena Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan untuknya sebagai penggantinya, maka balasan dari jenis amal perbuatan:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. [az-Zalzalah/99:7-8]

Dan contoh orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan untuknya yang lebih baik sebagai penggantinya:

Dan apabila engkau ingin melihat contoh nyata, yang menjelaskan kepadamu bahwa siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan yang lebih baik untuknya. Perhatikanlah kisah nabi Yusuf Alaihissallam bersama istri al-Aziz, wanita itu menggodanya namun ia tetap menjaga diri, padahal ia bisa melakukan maksiat itu. Pada diri nabi Yusuf terkumpul sesuatu yang tidak ada pada diri orang lain, dan jika terkumpul semuanya atau sebagiannya pada diri orang lain kemungkinan ia memenuhi ajakan tersebut. Bahkan sebagian orang ada yang pergi dengan sendirinya menuju tempat-tempat fitnah dan berusaha melakukannya dengan dirinya sendiri, kemudian ia kembali dengan kerugian yang nyata di dunia dan akhirat, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan rahmat -Nya kepadanya.

Adapun nabi Yusuf Alaihissallam, segala pendorong melakukan perbuatan zina terkumpul pada dirinya, yaitu:

  1. Dia seorang pemuda, dan dorongan pemuda untuk berbuat zinah sangat kuat.
  2. Dia seorang bujangan, tidak ada yang tempat untuk melampiaskan nafsu syahwatnya.
  3. Dia adalah warga pendatang, dan warga pendatang tidak merasa malu di tempat perantauannya sebagaimana dia merasa malu saat berada di antara teman-teman dan kenalannya.
  4. Dia seorang budak, dia telah dibeli dengan harga yang murah. Dan seorang budak tidak seperti orang yang merdeka.
  5. Sesungguhnya wanita itu sangat cantik.
  6. Wanita itu punya kedudukan yang tinggi.
  7. Dia adalah majikannya.
  8. Tidak ada yang mengawasi.
  9. Dia telah menyerahkan diri kepadanya.
  10. Dia telah menutup semua pintu.
  11. Dialah yang mengajak untuk melakukan hal itu.
  12. Dia sangat ingin melakukan hal itu.
  13. Sesungguhnya wanita itu telah mengancam memberikan hukuman jika ia menolak.

Kendati demikian ia memilih sabar karena mengutamakan dan memilih yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Ia memperoleh keberuntungan dan kemuliaan di dunia dan surga di akhirat. Sungguh pada akhirnya ia menjadi majikan dan istri al-Aziz itu akhirnya menjadi seperti budak di sisinya. dan disebutkan bahwa wanita itu berkata: ‘Maha suci (Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang telah menjadikan para raja menjadi budak karena perbuatan maksiat itu, dan menjadikan para budak sebagai raja karena perbuatan taat itu.”

Maka sudah seharusnya orang yang berakal agar bersabar dalam segala perkara dan melihat akibatnya, tidak mengutamakan kenikmatan sesaat yang fana di atas kenikmatan akhirat yang kekal.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya

[Disalin dari من ترك شيئًا لله عوَّضه الله خيرًا منه  Penulis : Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/81079-meninggalkan-maksiat-karena-allah.html